Implikasi Hukum Perkawinan di bawah Tangan Bagi Pasangan yang Berpoligami

 

Apa itu perkawinan di bawah tangan?

Perkawinan di bawah tangan atau yang sering disebut nikah siri adalah perkawinan yang sah secara agama namun tidak diakui secara negara, sehingga perkawinannya dalam perspektif hukum tidak mempunyai kepastian dan tidak dilindungi oleh hukum. Hal ini  kerapkali menimbulkan polemik karena merugikan istri maupun anaknya kelak dan tidak dapat dipungkiri hal tersebut masih banyak dilakukan oleh masyarakat.

Apabila dilihat dalam perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan di bawah tangan dapat dipersamakan dengan “perkawinan yang belum terjadi” dan dapat dibatalkan. Akan tetapi, perkawinan di bawah tangan jika dilakukan dengan mengikuti rukun dan syarat-syaratnya dengan benar, maka dapat dilaporkan langsung ke pegawai pencatat nikah untuk dibuatkan akta nikahnya.[1]

Lalu, apa akibat yang timbul dari perkawinan di bawah tangan?

Pencatatan perkawinan merupakan hal yang sangat penting. Walaupun bersifat administrasi, pencatatan perkawinan mempunyai pengaruh besar secara yuridis terkait pengakuan hukum terhadap keberadaan perkawinan. [2]

Meskipun secara agama dianggap sah, perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah. Tentu hal ini berdampak baik secara hukum maupun sosial. Akibat dari perkawinan yang tidak tercatat, yakni:

1. Istri tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah, warisan, dan pembagian harta jika suatu saat terjadi perpisahan.

2. anak yang lahir, di mata hukum dianggap sebagai anak tidak sah, sehingga anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu tercantum dalam Pasal 100 KHI, Pasal 42 dan 43 UUP. Dalam akta kelahirannya juga dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibunya saja.

3. ketidakjelasan status si anak, sehingga bisa saja sewaktu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya.

Jika ada kasus perkawinan di bawah tangan, apakah bisa perkawinannya tersebut dicatatkan agar diakui di mata hukum?

Ya, bisa. Bagi umat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat, yaitu dengan pengajuan Isbat Nikah. Dalam Pasal 7 Ayat 2 dan 3 KHI menyatakan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Isbat nikah hanya dapat diajukan berkenaan dengan:

  • Dalam rangka penyelesaian perceraian;
  • Hilangnya akta nikah;
  • Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
  • Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974, dan;
  • Perkawinan yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.

Biasanya untuk perkawinan di bawah tangan, hanya dimungkinkan isbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian, sedangkan pengajuan isbat nikah dengan alasan lain hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki akta nikah dari perjabat berwenang.[3]

Jika isbat nikah di atas diketahui bahwa suami masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu harus dijadikan pihak dalam perkara, apabila istri tidak  dimasukkan atau menolak, maka permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Karena, perkawinan yang dilakukan oleh mereka mempunyai halangan perkawinan menurut UU Perkawinan.



[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 84.

[2] Mahmudin Bunyamin, Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, 1 ed. (Bandung: Pustaka Setia, 2017), h. 151.

[3] Ali Geno Berutu, “Pernikahan Dibawah Tangan Dampak dan Solusinya” (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h. 19.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Body Shaming isn't a Joke

Bolehkah Penggunaan Alat Kontrasepsi Sterilisasi Dalam Perkawinan? Ini Aturannya Menurut Fatwa MUI

The Polygamy Principle in Islam and law