Bolehkah Penggunaan Alat Kontrasepsi Sterilisasi Dalam Perkawinan? Ini Aturannya Menurut Fatwa MUI


Sterilisasi adalah memandulkan lelaki atau wanita dengan jalan operasi agar tidak dapat menghasilkan keturunan. Sterilisasi berbeda dengan alat-alat kontrasepsi yang pada umumnya hanya bertujuan menghindari/menjarangkan kehamilan untuk sementara waktu saja. Sedangkan sterilisasi menurut para ahli kedokteran mengakui harapan tipis untuk bisa berhasil dipulihkan lagi.[3]

Sterilisasi pada wanita disebut tubektomi, caranya ialah dengan memotong kedua saluran sel telur dan menutup keduanya, sehingga sel telur tidak bisa keluar dan sel sperma tidak dapat pula masuk.

Sedangkan sterilisasi pada laki-laki disebut vasektomi, caranya ialah memotong saluran mani kemudian ujungnya diikat, sehingga sel sperma tidak dapat mengalir keluar uretra.

Sterilisasi pada wanita dan laki-laki sama dengan abortus bisa berakibat kemandulan, sehingga mereka tidak lagi mempunyai keturunan. Karena hal itu, International Planned Parenthod Federation (IPPF) tidak menganjurkan kepada negara-negara anggotanya termasuk Indonesia. Dalam hal ini pemerintah Indonesia secara resmi tidak permah menganjurkan rakyat Indonesia untuk melakukan sterilisasi sebagai cara kontrasepsi dalam program KB, karena memiliki mudhorat yang besar.[4]

Menurut Islam sterilisasi baik untuk laki-laki maupun perempuan pada dasarnya haram, karena ada mudhorat yang muncul akibat ini, yakni; berakibat kemandulan tetap, mengubah ciptaan tuhan dengan jalan memotong dan menghilangkan sebagian tubuh yang sehat dan masih berfungsi dengan baik, dan melihat aurat orang lain.

Tentu hal ini melanggar prinsip Islam terlebih lagi mengenai tujuan pokok perkawinan dan Islam juga melarang orang melihat aurat orang lain meskipun sesama jenisnya. Namun jika melihat aurat itu diperlukan untuk kepentingan medis, maka sudah tentu Islam membolehkan.

Akan tetapi apabila suami istri dalam keadaan yang sangat terpaksa atau darurat seperti istri tidak mungkin lagi untuk hamil karena jiwanya akan terancam, maka sterilisasi diperbolehkan dalam Islam sesuai dengan kaidah fiqh,

الضرؤرة تبيح المحظرات

“Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang.”

Islam membolehkan sterilisasi lelaki/perempuan, karena semata-mata alasan medis. Selain medis, seperti banyak anak atau kemiskinan tidak dapat dijadikan alasan untuk sterilisasi. Tetapi ia dapat menggunakan alat-alat kontrasepsi yang diijinkan dalam Islam, seperti piil, oral, dsb.

MENURUT FATWA MUI TERKAIT LARANGAN STERILISASI WANITA/PRIA

Islam membenarkan pelaksanaan keluarga berencana yang ditujukkan demi kesehatan ibu dan anak, dan demi kepentingan pendidikan anak. Pelaksanaannya harus dilakukan atas dasar sukarela / tanpa adanya paksaan, tentu dengan menggunakan alat kontrasepsi yang tidak dilarang dalam Islam.[5]

Vasektomi dan tubektomi dilarang dalam Islam, kecuali dalam keadaan darurat dan tidak ada jalan selain itu, seperti mencegah untuk menjalarnya penyakit menular atau untuk menolong jiwa orang yang hendak menjalani vasektomi dan tubektomi.[6]

Fatwa MUI Tahun 2012 Tentang Sterilisasi Dalam Keluarga Berencana. Fatwa haram dalam kajian ulama Vasektomi dan Tubektomi adalah kemandulan tetap. Fatwa haram telah dikeluarkan pada tahun 1979 dengan dua alasan bahwa; (1) Vasektomi merupakan bentuk usaha pemandulan yang disengaja, sedangkan dalam Islam sendiri melarang keras seseorang melakukan usaha untuk memutus keturunan (pemandulan); (2) DI Indonesia sendiri belum dapat dibuktikan bahwa sterilisasi (Vasektomi dan Tubektomi bisa disambung kembali.[7]

Kemudian tahun 1983 MUI kembali menegaskan bahwa sterilisasi masih belum diperbolehkan atau haram, dan untuk yang ketiga kalinya pada tahun 2009 MUI juga kembali mengeluarkan fatwa tentang larangan sterilisasi[8] bahwa walaupun sudah ada alat untuk upaya pemulihan yang telah melakukan sterilisasi tetapi saluran sperma yang telah dipotong tidak dapat menjamin pulihnya tingkat kesuburan kembali yang bersangkutan, sehingga tetap tergolong kategori haram.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut;

Sterilisasi merupakan proses memandulkan laki-laki maupun perempuan dengan jalan memotong kedua sel telur (perempuan) dan saluran mani (laki-laki). Apabila dilakukan maka akan menimbulkan mudharat yaitu berakibat kepada kemandulan.

Pemerintah Indonesia secara resmi tidak pernah menganjurkan rakyat Indonesia melakukan sterilisasi, dan di dalam hukum Islam pada dasarnya sterilisasi haram untuk dilakukan karena mudharat nya lebih besar. Terkecuali, dalam keadaan darurat dan dianjurkan oleh medis, maka dibolehkan untuk melakukan sterilisasi.

            Fatwa MUI Tahun 2012 Tentang Sterilisasi Dalam Keluarga Berencana. Fatwa haram dalam kajian ulama Vasektomi dan Tubektomi adalah kemandulan tetap. Bahkan untuk ketiga kalinya MUI juga mengeluarkan fatwa tentang larangan sterilisasi karena walaupun ada alat untuk upaya pemulihan belum tentu menjamin tingkat pulihnya kesuburan kembali, sehingga sterilisasi tetap tergolong kategori haram.

 


[1] A. Rahmad Rosyadi Soeroso, Dasar Indonesia: Keluarga Berencana Ditinjau Dari Hukum Islam, cet, ke-1, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 23-24 mengutip dalam Jurnal Yassir Hayati, Kontrasepsi dan Sterilisasi dalam Pernikahan, Vol. 3 No. 1 Tahun 2018, hlm 84.

[2] Redaksi DokterSehat, Tujuan & Manfaat Keluarga Berencana (KB), Ada Manfaatnya untuk Anak!, ditinjau oleh Tim Dokter. https://doktersehat.com/pengertian-dan-tujuan-keluarga-berencana-kb/  (diakses pada 21 Nowember 2020, pukul 11.00)

[3] Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), cet IV, hlm, 52.

[4] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1993, cet. 5, hlm. 67

[5] Majelis Ulama Indonesia, Kumpulan Fatwa, 1983, hlm,168-169.

[6] Ibid

[7] Asroru Niam Sholeh, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 898. Mengutip dalam skripsi Siti Masitoh, Sterilisasi Dalam Keluarga Berencana (Analisis Komparatif antara Fatwa MUI Tahun 2012 dan NU Tahun 1989), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, 2016, hlm. 4

[8] Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III, (Jakarta: MUI, 2009), hlm. 61


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Body Shaming isn't a Joke

The Polygamy Principle in Islam and law